Skip to main content

Hujan pun Berhenti

Entah mulai kapan hujan ini turun. Rasanya aku pun tak peduli. Kaki ini rasanya tak mau berhenti. Entahlah, sudah berapa jam pula aku berjalan.

Suara deras itu masih terdengar. Menyisakan dingin yang menusuk tulang. Tak tahu berapa lama lagi tubuh ini sanggup menahannya. Dingin ini telah memaksaku berhenti.
Tetes sisa hujan itu masih saja menitik, satu per satu dari ujung-ujung daun. Iramanya makin menyayat saja. Entah mulai kapan, hujan tak lagi indah. Aromanya yang bercampur tanah ini pun tak lagi menyenangkan. Menyesakkan.

Adakah kesempatan itu masih ada? Adakah aku mampu bertahan? perbekalan yang tersisa hanya roti yang telah separuh dihabiskan tadi siang. Tak ada yang lainnya. Kakiku mulai mati rasa, luka itu tak lagi aku rasakan perihnya. Sekarang, mau bergerak pun rasanya tak mungkin. Inikah akhir itu?

Sejenak terbayang senyum mu di balik samar temaram senja. Senyum yang ingin kumiliki seutuhnya. Senyum yang selalu ingin ku jaga. Namun begitu salah. 

Pagi itu, kau yang mengatur jadwal pertemuan ku dengan salah satu orang di kantormu. Saat itu, adalah saat pertama kita bertemu. Ah, andaikan kita dipertemukan lebih cepat. Namun, rupanya Yang Maha Kuasa punya rencana lain untukku dan untukmu.

Setelah pertemuan itu, kita mulai lagi bertemu di beberapa acara. Dan aku tak terasa mulai menyukaimu. Entah apa yang kulihat dari dirimu. Aku tau, seharusnya aku tak lengah membiarkan rasa itu hinggap. Karena beberapa saat lagi adalah hari pernikahanku. Ya, aku sebentar lagi menikah. Sesuatu yang indah bukan. Kami telah lama menanti hari bahagia ini. Jadi, tak mungkin aku menghianatinya. Dia telah berjuang selama ini bersamaku.

Benar-benar drama. Pernikahan ku berjalan dengan lancar. Saat itu, bisa dibilang, aku sudah melupakanmu. Namun, tali takdir mempertemukan kita lagi, lagi dan lagi. Tanpa aku bisa menolaknya. Ya, aku masih mengagumimu.

Rasa dingin ini makin menjadi. Dengan sedikit tenaga tersisa aku mencoba menggerakkan badanku untuk mendekat ke batu itu. Haus sekali rasanya, dan di bawah batu itu ada air. Setidaknya hujan tadi telah menyisakan genangan air di sana.

Aku minum sebanyak mungkin. Otakku tak lagi dapat berpikir jernih. Rasanya tubuh ini bergerak hanya dituntun instingnya saja, bukan oleh ku. Kubersandar di batu itu. Entah sudah berapa hari, 3 atau 4. Beruntunglah aku masih bisa sampai sejauh ini.

Lagi-lagi, senyum mu menggelayuti imajiku. Entah mengapa, sebenarnya dorongan apa yang akhirnya membuatku jadi sering memikirkan mu. Persetan. Seharusnya tidak usah kudengarkan omongan mereka dan menjalani kehidupanku biasa saja. Ingin aku tak mempercayai omongan mereka,, tapi lagi-lagi bagiku, omongan mereka tentang sikap mu itu ada benarnya. Dan tololnya aku, aku tak pernah tau kebenarannya bahkan hingga kini.

Biarlah, biarkan ia mati di sini bersama ku. Toh, bagiku, tak mungkin aku mengkhianati jalinan kasih yang telah kubangun. Dan kau, masih banyak di sana laki-laki yang lebih pantas dari ku. Lalu, kenapa pula aku harus memikirkanmu, menghawatirkanmu, dan memberimu tempat di sini.

Ah, aku pun tak pernah mengerti alasannya.

Sinar senja mulai tampak dari ufuk. berlalu dalam celah-celah awan mendung. Tak mampu ku berpikir lagi, tenagaku sudah mencapai batasnya. Nyeri di kakiku mulai terasa lagi. Sayup sayup terdengar suara lantang memanggilku. Zea, Zea... Tapi aku tak dapat menyahut lagi. Pandanganku kabur, dan ..

Tim SAR telah menemukan pendaki yang hilang itu. Ia tak sadarkan diri. Kondisi korban ketika ditemukan dalam keadaan hipotermia. Penanganan di lapangan dan tindakan cepat tim penyelamat mampu menstabilkan kondisi korban hingga tiba di rumah sakit.

Di mana aku... silau ... terang sekali di sini. Aroma ini. Ah, rupanya aku di rumah sakit. KAU menyelamatkan ku lagi dan lagi Tuhan. Terimakasih. Segala Puji bagi-Mu. Sayup ku mendengar isak suara yang begitu ku kenal. Istriku. Maafkan aku, sudah membuatmu khawatir. Aku baru bisa membuka mataku, namun belum sanggup berkata. Syukurlah, karena aku tak melihatmu di saat pertama mataku terbuka.

Ku rasa hidup memang begitu. Dan aku pun harus menjalaninya sebagaimana mestinya. Aku tahu kita bukan lagi remaja yang penuh dengan drama. Dunia yang kita jalani benar-benar berbeda. Sayonara. Aku telah melepasmu, bersama sisa hujan di lembah itu.

Comments

Popular posts from this blog

Pasar

Entah apa sebenarnya yang terjadi. Pagi itu. Seperti biasa, pengelana mulai merapikan peralatannya. Tenda dia rapikan, tungku telah ia bungkus. Sisa api semalam juga telah dipadamkannya. Tidak ia sisakan  sedikitpun sampah di tempat ia berkemah. Semua telah rapi. Dinaikkannya ke punggung onta semua barang dan perbekalannya. Hari ini ia akan ke kota di pinggir padang pasir itu. Ia hendak membeli perbekalan untuk mencapai kota berikutnya. Namun, karena dinar yang dimilikinya pun tinggal sedikit, dan barang untuk dibarter juga tidak ada. Ia pun memutuskan untuk tinggal sedikit lebih lama di kota itu. Rencananya ia akan bekerja. Dicarinya pasar. Ia tidak terlalu sulit untuk menemukan pasar. Karena di kota itu, pasarnya cukup besar dan merupakan tempat bertemunya pedagang dari negeri seberang. Kecakapan pengelana dalam menghitung dan mencatat membuatnya mudah mendapat pekerjaan. Kini ia resmi menjadi asisten juru catat pedagang domba. Ia pun tampak terbiasa dengan rutinitas barunya ...

Himawari

Biarkan basah hujan turun Lepaskan aromanya, menguar Bersama rinainya Merekam jejak rindu Biarkan aku melaluinya Hamparan hatimu yang tak tahu di mana Harapku kan sampai Ketika Himawari sambut sang surya (Re)