Skip to main content

Bumi Bulan


"Kenapa Bulan? Apakah kau lelah?"
"Tidak Bumi, jangan berpikir begitu".
"Lantas?"
"Aku hanya berpikir, apakah kau tidak jenuh terus menerus melihatku mengitarimu sepanjang waktu?"
Bumi tersenyum mendengar pertanyaan Bulan. Tak disangkanya Bulan akan menanyakan hal itu.
"Aku pun memiliki pertanyaan yang serupa padamu Bulan, Apakah kau tidak bosan terus menerus mengitariku sepanjang waktu?"
Mereka berdua tersenyum.
"Barangkali memang tugasku ada hanya untuk mengitarimu, agar semua makhluk yang ada padamu bisa melihatku dalam berbagai bentuk bahkan sesekali akan merasa bahwa aku tak ada. Lagi pula aku akan melindungimu Bumi dari beragam ancaman semesta, semampuku".
"Begitu, terimakasih Bulan, karena telah menjagaku. Bersama kita mengelilingi Matahari, menyapu pinggiran galaksi. Entah berapa lamanya. Engkau tak pernah lelah. Aku pun terus berputar agar semua makhluk yang ada padaku dapat menyaksikanmu dalam berbagai bentukmu. Lihat betapa bahagianya mereka, meski kau hanya meneruskan Matahari".

Kisah mereka yang terus tergiang dalam benakku kala aku berdiri di sini. Suatu tempat yang selalu membuatku ingin kembali, lagi dan lagi. Entah sudah berapa lama aku menerawang ke antara bintang-bintang di atas sana. Entah apa pula yang aku pikirkan, adakah pula yang aku rindukan.
Rasanya, tak bosan aku mengingat bincangan bumi dan bulan itu. Entah pula siapa yang menceritakannya padaku. Aku tak ingat.

Api sudah tinggal baranya saja yang menyala. Agus masih belum beranjak dari lamunannya. Sesekali ia menoleh ke pergelangan tangannya. "Baru lewat 5 menit dari tengah malam," gumamnya. Setidaknya dia harus tetap terjaga hingga pukul 1.30 pagi. Kali ini ia berjaga sendiri. Apa boleh buat, grup pendakian ini tak sebesar biasanya. Hanya 5 orang saja. Arya yang seharusnya ikut berjaga bersamanya telah sampai ke peraduan terlebih dahulu, di hammock yang terpasang tepat di pepohonan samping tenda.
Agus berusaha tetap terjaga, melakukan apa pun agar ia tak ketiduran.

Merbabu bulan Juni cukup bersahabat meski terkadang angin dingin menusuk menembus jaket hingga membuatmu menggigil. Agus menoleh lagi ke Jamnya. "Gawad, aku ketiduran," ia membuka matanya lebar-lebar dan melihat ke sekelilingnya dengan hati-hati. Ternyata Eka telah bangun dan sedang menyeduh kopi.
"Bangun kau Gus?", ucapnya sambil mengaduk secangkir besar kopi hitam.
"Iya nih. Kirain belum bangun ente," sahut Agus sambil membenarkan posisi duduknya menghadap ke perapian.

Bintang-bintang memang cantik kala dipandangi pada sepertiga malam terakhir. Bulan yang nampak separo pun menambah ornamen langit malam itu. Pada jam jam itu memang dingin terasa lebih dingin, bara pun tak lagi terasa. Agus membangunkan Arya yang masih terlelap di hammock nya. Kira dan Tata keluar dari dalam tenda mereka. Nampaknya pagi itu gerombolan tersebut berencana menyapa mentari pagi di puncak Merbabu.

Comments

Popular posts from this blog

Hujan pun Berhenti

Entah mulai kapan hujan ini turun. Rasanya aku pun tak peduli. Kaki ini rasanya tak mau berhenti. Entahlah, sudah berapa jam pula aku berjalan. Suara deras itu masih terdengar. Menyisakan dingin yang menusuk tulang. Tak tahu berapa lama lagi tubuh ini sanggup menahannya. Dingin ini telah memaksaku berhenti. Tetes sisa hujan itu masih saja menitik, satu per satu dari ujung-ujung daun. Iramanya makin menyayat saja. Entah mulai kapan, hujan tak lagi indah. Aromanya yang bercampur tanah ini pun tak lagi menyenangkan. Menyesakkan. Adakah kesempatan itu masih ada? Adakah aku mampu bertahan? perbekalan yang tersisa hanya roti yang telah separuh dihabiskan tadi siang. Tak ada yang lainnya. Kakiku mulai mati rasa, luka itu tak lagi aku rasakan perihnya. Sekarang, mau bergerak pun rasanya tak mungkin. Inikah akhir itu? Sejenak terbayang senyum mu di balik samar temaram senja. Senyum yang ingin kumiliki seutuhnya. Senyum yang selalu ingin ku jaga. Namun begitu salah.  Pagi...

Pasar

Entah apa sebenarnya yang terjadi. Pagi itu. Seperti biasa, pengelana mulai merapikan peralatannya. Tenda dia rapikan, tungku telah ia bungkus. Sisa api semalam juga telah dipadamkannya. Tidak ia sisakan  sedikitpun sampah di tempat ia berkemah. Semua telah rapi. Dinaikkannya ke punggung onta semua barang dan perbekalannya. Hari ini ia akan ke kota di pinggir padang pasir itu. Ia hendak membeli perbekalan untuk mencapai kota berikutnya. Namun, karena dinar yang dimilikinya pun tinggal sedikit, dan barang untuk dibarter juga tidak ada. Ia pun memutuskan untuk tinggal sedikit lebih lama di kota itu. Rencananya ia akan bekerja. Dicarinya pasar. Ia tidak terlalu sulit untuk menemukan pasar. Karena di kota itu, pasarnya cukup besar dan merupakan tempat bertemunya pedagang dari negeri seberang. Kecakapan pengelana dalam menghitung dan mencatat membuatnya mudah mendapat pekerjaan. Kini ia resmi menjadi asisten juru catat pedagang domba. Ia pun tampak terbiasa dengan rutinitas barunya ...

Himawari

Biarkan basah hujan turun Lepaskan aromanya, menguar Bersama rinainya Merekam jejak rindu Biarkan aku melaluinya Hamparan hatimu yang tak tahu di mana Harapku kan sampai Ketika Himawari sambut sang surya (Re)