Skip to main content

Pilihan


Sore itu, Kara mendapati email masuk dalam mailbox hp butut miliknya. Terasa spesial memang, karena dengan datangnya email itu telah ada dua perusahaan yang berminat meminangnya untuk menjadi karyawan. Dengan perasaan berdebar Kara membuka email tersebut.

"Kepada Kara,

Kami PT Televisi Makmur mengundang anda dalam acara psikotes yang akan diselenggarakan di Istora Senayan Jakarta  pada Rabu, 16 Maret 2016 yang akan dimulai pukul 7 hingg 9 pagi. Mohon melengkapi diri dengan berkas berupa fotokopi ijazah, tanda pengenal sebagaimana terlampir, dan fotokopi transkrip nilai. Kami himbau untuk datang tepat waktu.

Salam,
HRD PT Televisi Makmur"

Tak ayal, Kara merasa senang bukan main. Ingin rasanya ia berteriak, namun malu rasanya jika seluruh pandangan orang di ruang tunggu kantor itu terarah padanya. Ia pun beranjak dari ruang tunggu dan bergegas menuju kos mungilnya.

Sesampainya di kos, ia segera menyiapkan berkas dan pergi ke tukang fotokopi yang tak jauh dari sana untuk mencetak tanda pengenal dan memfotokopi berkas yang telah disiapkannya sebelumnya. "Semua beres," gumamnya dalam hati.

Tak selang berapa lama, hp Kara berdering. Dijawabnya telepon tersebut. "Baik Pak, hari Rabu depan ya Pak. Bisakah saya minta yang jam 11 siang saja Pak? Soalnya paginya saya ada janji,". Sambil tersenyum simpul Kara menutup telepon. Tak sia-sia pikirnya. Map lusuh itu pun telah memberinya harapan akan babak baru dalam kehidupannya di Ibukota.

"Mudahkan jalanku Tuhan," pintanya lirih.

Mentari belum tersingkap, Kara sudah siap dengan setelan kemeja dan roknya. Ia pun telah menyiapkan seluruh perlengkapan tes sejak semalam. Belum juga adzan berkumandang ia bergegas menuju Istora Senayan dengan meminjam motor teman kos nya.

Halaman Istora segera dipenuhi ribuan pencari kerja seperti dirinya. Kara segera mengambil tempat bersama kerumunan itu.  Ia mengamati lingkungannya sambil membayangkan apa yang akan terjadi di dalam nanti saat ujian. Diliriknya sesekali jam tangannya, jarum telah menunjuk ke pukul 6.30 pagi. Panitia masih saja hilir mudik mempersiapkan segala sesuatunya namun belum terlihat tanda-tanda para peserta bisa memasuki ruangan ujian. Kara mulai khawatir.

Pukul 7.00 para peserta makin menumpuk di pintu depan. Belum ada tanda-tanda juga untuk registrasi ulang. Semua peserta tak terkecuali kara memasang wajah gelisah.

Sebuah suara terdengar 30 menit kemudian. Suara yang meminta para peserta untuk berbaris dan mulai berjalan memasuki halaman Istora satu per satu. Para peserta mengikuti arahan panitia, meski ada pula yang berjubel di pintu masuk. Kara pun telah masuk dan mengantri kembali untuk melakukan registrasi ulang.

Sudah pukul 8 lewat ketika kara masuk di ruang ujian. Ia pun mulai tak yakin acara ini akan selesai pada jam 9 sebagaimana jelas tertulis di undangan. Ia mencoba menikmati guyonan yang ada di panggung depan namun tetap saja dirinya risau. Ketika mulai mengerjakan soal pun ia tidak terlalu berkonsentrasi. Dan tak terasa matahari di luar sudah sampai pada puncak tingginya. Kara teringat akan wawancara kerja yang juga menantinya. "Sudah terlambat," gumamnya.

Ia melangkah berat meninggalkan para peserta lainnya yang masih terpaku pada MC di panggung yang meminta agar peserta tidak beranjak dari kursinya. Kara tak menggubrisnya, ia keluar memberikan lembar jawaban beserta kelengkapan lainnya kepada seorang panitia yang ditemuinya di luar.

Meski sudah terlambat, Kara tetap memacu motornya ke sebuah kantor mungil di sudut Jakarta yang mungkin akan menjadi jawaban atas segala penantiannya. Rasa lapar pun di lawannya agar tak semakin terlambat. Sekuat tenaga ia redam segala kejengkelan yang ada dalam benaknya sedari pagi. Entah apakah dewi fortuna masih berpihak padanya kali ini. Atas pilihan dan janji yang dibuatnya.

(Re)

Comments

Popular posts from this blog

Hujan pun Berhenti

Entah mulai kapan hujan ini turun. Rasanya aku pun tak peduli. Kaki ini rasanya tak mau berhenti. Entahlah, sudah berapa jam pula aku berjalan. Suara deras itu masih terdengar. Menyisakan dingin yang menusuk tulang. Tak tahu berapa lama lagi tubuh ini sanggup menahannya. Dingin ini telah memaksaku berhenti. Tetes sisa hujan itu masih saja menitik, satu per satu dari ujung-ujung daun. Iramanya makin menyayat saja. Entah mulai kapan, hujan tak lagi indah. Aromanya yang bercampur tanah ini pun tak lagi menyenangkan. Menyesakkan. Adakah kesempatan itu masih ada? Adakah aku mampu bertahan? perbekalan yang tersisa hanya roti yang telah separuh dihabiskan tadi siang. Tak ada yang lainnya. Kakiku mulai mati rasa, luka itu tak lagi aku rasakan perihnya. Sekarang, mau bergerak pun rasanya tak mungkin. Inikah akhir itu? Sejenak terbayang senyum mu di balik samar temaram senja. Senyum yang ingin kumiliki seutuhnya. Senyum yang selalu ingin ku jaga. Namun begitu salah.  Pagi...

Pasar

Entah apa sebenarnya yang terjadi. Pagi itu. Seperti biasa, pengelana mulai merapikan peralatannya. Tenda dia rapikan, tungku telah ia bungkus. Sisa api semalam juga telah dipadamkannya. Tidak ia sisakan  sedikitpun sampah di tempat ia berkemah. Semua telah rapi. Dinaikkannya ke punggung onta semua barang dan perbekalannya. Hari ini ia akan ke kota di pinggir padang pasir itu. Ia hendak membeli perbekalan untuk mencapai kota berikutnya. Namun, karena dinar yang dimilikinya pun tinggal sedikit, dan barang untuk dibarter juga tidak ada. Ia pun memutuskan untuk tinggal sedikit lebih lama di kota itu. Rencananya ia akan bekerja. Dicarinya pasar. Ia tidak terlalu sulit untuk menemukan pasar. Karena di kota itu, pasarnya cukup besar dan merupakan tempat bertemunya pedagang dari negeri seberang. Kecakapan pengelana dalam menghitung dan mencatat membuatnya mudah mendapat pekerjaan. Kini ia resmi menjadi asisten juru catat pedagang domba. Ia pun tampak terbiasa dengan rutinitas barunya ...

Himawari

Biarkan basah hujan turun Lepaskan aromanya, menguar Bersama rinainya Merekam jejak rindu Biarkan aku melaluinya Hamparan hatimu yang tak tahu di mana Harapku kan sampai Ketika Himawari sambut sang surya (Re)